KATA PENGANTAR
Dengan segala
kerendahan hati penulis panjatkan atas syukur kehadirat ALLAH SWT
atas segala rahmat nya yang di limpahkan kepada penulis sehinga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang ber judul
“HUKUM LINGKUNGAN” yang menempuh salah
satu syarat untuk memperbaiki nilai-nilai yang kurang baik, berbagai usaha untuk menyajikan makalah ini
dengan baik dan sempurnah telah penulis
lakukan, namun sebagai manusia biasa
penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, untuk
itu segaah KRITIKAN DAN SARAN yang bersifat
untuk menyempurnakan makalah ini, penulis terima dengan lapang dada.
Ahir kata
penulis mohon maaf yang tak terhinga atas segala kekurangan dan kesalahan dalam
makala ini serta berharap walaupun jauh dari kesempurnaan makalah ini dapat berguna bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum selanjutnya...
DAFTAR ISI
1. LEMBARAN JUDUL
.......................................................................
2. KATA PENGANTAR .......................................................................
3. DAFTAR ISI
...................................................................................
4. BABl.PENDAHULUAN....................................................................
A. Latar belakang
........................................................................
B. Identifikasi masalah
...............................................................
5. BAB ll. PEMBAHASAN
..................................................................
A. Pengertian H lingkungan
.........................................................
B. Pelaksanaan prinsip tanggungjawab
mutlak
strict leabiliti
..........................................................................
C. Uu no 23 thn 1997 ................................................,..................
6. BAB lll. PENUTUP
........................................................................
A. Kesimpulan
.............................................................................
B. Saran ......................................................................................
7.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Lingkungan
Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah
tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat,
akan melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang
yang sehat dan dinamis.
Pembangunan
industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat
pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping. Dampak samping
tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk
kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara
tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan
yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup
telah terjadi.
Pencemaran
lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat
yang ada sekarang namun juga akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu kita
kelak. Oleh karena itu baik masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib
untuk melindungi lingkungan hidup. Masyarakat diharapkan secara aktif dapat
berperan serta aktif dalam pelestrian lingkungan sedangkan pemerintah berupaya
dengan memberikan perlindungan bagi lingkungan hidup negaranya dan masyarakat
yang tinggal dalam lingkungan hidup negaranya melalui berbagai peraturan
perundang-undangan.
UU
Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 adalah suatu produk pemerintah untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup sekaligus memberi perlindungan hukum bagi
masyarakat agar selalu dapat terus hidup dalam lingkungan hidup yang sehat.
Upaya
pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa
lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan, dan dalm penegakan hokum
lingkungan ada istilah tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi pelaku
pencemaran lingkungan dengan ketentuan tertentu.
B. Identifikasi Masalah
Bagaimana pelaksanaan prinsip
tanggung jawab mutlak strict liability?
BAB II
PEMBAHASAN
Penegakan Hukum Lingkungan
Pembangunan
disamping memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun disisi yang
lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan atau
tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan hukum pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup menjadi kata kunci (key word) dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam
proses pembangunan. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi
lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkugan hidup, maka
serangkain kegiatan penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan, dengan
tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan sanksi kepada perusak atau pencemar
lingkungan, tetapi tujuan yang paling pokoknya dalah untuk memulihkankemampuan
lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkat-kan kuaitasnya.
Upaya
pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa
lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan
merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan
kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan hukum lingkungan di
Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement) yang
meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang
hukum pidana.
1. Penegakkan hukum lingkungan
administratif, dimulai dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh
MENLH/pejabat yang ditunjuk MENLH, atau oleh Kepala Daerah/pejabat yang
ditunjuk Kepala Daerah terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
seperti persyaratan izin, BML dll, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 22-24
UUPLH. Ada beberapa sanksi administrasi dalam Pasal 25-27 UUPLH yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan. Pertama, paksaan pemerintahan
(bestuursdwang) untuk mencegah dan mengakiri terjadinya pelanggaran, atas beban
biaya penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang wewenangnya ada pada
Gubernur atau Bupati/Walikota. Kedua, terhadap pelanggaran tertentu dapat
dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Penyelesaian secara perdata
atas gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup, dapat ditempuh
melalui mekanisme ADR/diluar pengadilan) maupun di dalam pengadilan (Pasal 30
UUPLH) oleh masyarakat secara perorangan atau melalui gugatan perwakilan (class
action), dan NGO serta instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang
pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 34, 35, 37 dan 38 UUPLH) untuk mewakili
kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup atas ganti kerugian dan pemulihan
lingkungan hidup. Terdapat perbedaan mendasar antara penyelesaian secara
perdata yang terdapat dalam Pasal 34 dan 35 UUPLH. Pasal 34 ayat (1) UULH-97
menentukan dua kategori perbuatan melanggar hukum yaitu pencemaran lingkungan
hidup (dalam arti turunnya kualitas lingkungan hidup: lihat Pasal 1 angka 12
UUPLH) dan perusakan lingkungan hidup (dalam arti lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi: lihat Pasal 1 angka 14 UUPLH), yang dapat menjadi alasan hukum
untuk menuntut ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (memulihkan
fungsi lingkungan hidup) kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
3. UUPLH menempatkan penerapan
sanksi pidana sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium)[1].
Dalam penjelasan umum UUPLH terkandung suatu prinsip yang dikenal yaitu primary
jurisdiction atau disebut sebagai asas subsidiaritas. Asas ini menegaskan bahwa
hukum pidana baru dapat digunakan apabila: a) sanksi bidang hukum lain, seperti
sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan tidak efektif; b) tingkat kesalahan pelaku relatif berat; dan c)
menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sarana hukum lain harus
dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum diambil tindakan secara pidana atau
diterapkannya sanksi pidana sebagaimana[2]
diatur dalam Pasal 40-47 UUPLH.
Pelaksanaan
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Strict Liability
Apapun
sarana hukum yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa lingkungan, yang penting
ada dua hal yang perlu untuk dibuktikan. Pertama, adanya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dalam arti hukum (dalam hal ini perlu dilakukan
pengujian limbah terhadap ketentuan BML apakah masih berada dalam batas-batas
BML/tidak). Kedua, adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dengan penderitaan masyarakat dan/ atau rusaknya
kualitas lingkungan hidup.
Membuktikan kedua
hal tersebut tidaklah mudah. Diperlukan keterangan ahli dari berbagai disipilin
ilmu (lingkungan, biologi, kimia, medis, ekonomi, hukum dll), sampel hukum dan
laboratorium hukum. Keterlibatan para ahli akan sangat membantu untuk proses
pembuktian ilmiah (scientific evidence) dan untuk menghitung kerugian
masyarakat dan tingkat kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, sehingga dapat
ditentukan berapa biaya yang harus ditanggung oleh penanggungjawab
usaha/kegiatan untuk mengganti kerugian masyarakat dan untuk memulihkan
lingkungan hidup.
Pasal 34
tidak menunjuk kepada sistem pertanggungjawaban tertentu, maka untuk itu[3]
kandungan Pasal 34 ini dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 BW sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad). Pasal
1365 BW ini menganut prinsip tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability
based on fault), tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk
menuntut kerugian (NHT.Siahaan:2004:310-311).
Beban
pembuktian untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut menurut Pasal 1865
BW merupakan kewajiban penggugat. Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah,
bahkan lebih menyulitkan karena harus lebih dahulu dibuktikan adanya hubungan
sebab akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup dengan kerugian dari si penderita.
Dibutuhkan
penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus untuk membuktikan hubungan
kausal tersebut. Sehingga penerapan sistem pertanggungjawaban yang bersifat
biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan. Kelemahan Pasal 34 tersebut,
sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH
yang mengatur tentang tanggungjawab mutlak (strict liability) atas kegiatan
yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
menggunakan B3 dan/ atau menghasilkan limbah B3.
Berdasarkan
Pasal 35 UUPLH tersebut, terdapat tiga kriteria bagi jenis kegiatan/usaha yang
tunduk pada prinsip tanggungjawab mutlak, yaitu jenis kegiatan yang wajib
Amdal, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3 (Daud
Silalahi:2001:45). Dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa
tanggungjwab mutlak (strict liability) berarti unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian (liability
without fault/tanggungjawab tanpa kesalahan) dan ketentuan pasal ini merupakan
lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya
didasarkan pada Pasal 1365 BW.
Hal ini
berarti pihak tergugatlah yang harus membuktikan adanya hubungan kausal [4]antara
perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang
diderita oleh penggugat dan lingkungan hidup. Pasal 35 ayat (2) memberikan
pengecualian penerapan prinsip tanggungjawab mutlak bilamana dapat dibuktikan
bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan disebabkan oleh bencana alam atau
peperangan; atau adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau akibat
tindakan pihak ketiga
Penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya[5]
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan
bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan dengan kewajiban menbayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan
hidup.penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar gantirugi, jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa
pencemaran dan atau pencemaran lingkungan hidup disebabkan salahsatu alas an
ialah adanya bencana alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar
kemampuan manusia, atau adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan
terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup. Dalam hal
terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga maka pihak ketiga
tersebut bertanggung jawab membayar gantirugi.
Pengertian
bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability yakni unsure kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran gantikerugian.
Ketentuan ini merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hokum pada umumnya. Besarnya nilai gantirugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud sampai batas tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan
atau egitan yangbersangkutanatau telah tersedian dana lingkungan hidup
Pencemaran
lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 1 ayat 12 UU no 23 tahun 1997 (
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya ) mempunyai
pengertian luas dan berusaha menjaring perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan
lingkungan. Peraturan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup apabila
akan diruangkan kedalam bentuk undang-undang cara pengaturannya harus
mengandung makna preventive dan revresif. Secara filsafat bahwa pengelolaan
lingkungan hidup itu supaya dapat dinikmati oleh manusia pada generasi masa
kini dan masa depan, maka ketentuan perlindungan terhadap masalah lingkungan
hidup termasuk pula mencakup perlindungan korban dari pencemaranatau perusakan
lingkungan
Berdasarkan
pasal 34 tentang ganti rugi, dan pasal 35 tentang tanggung jawab mutlak pada UU
no 23 tahun 1997, mencakup dua segi perlindungan, yaitu:
1. Perlindungan korban yang
diderita perorangan
2. Perlindungan terhadap
Negara yang menjadi korban pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup.
Ganti rugi terhadap korban
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gantirugi yang diberikan
kepada korban yang dibayar oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan kegiatan
lingkungan tersebut.
2. Ganti rugi yang diberikan
kepada Negara dalam ujud melakukan tindakan hukum tertentu sesuai dengan perintah hokum yang ditetapkan oleh hakim.
Bentuk dan
jenis kerugian akibat pengrusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya
kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah. Masalah gantirugi
dengan melalui penelitian yang menyangkut aspek budaya, tentunya dapat masuk
dalam ruang lingkup ganti rugi menurut hokum adat setempat. Hal ini mendasari
adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 November1958 (Reg. No.212
K/S.i.p/1958) yang memutuskan ganti rugi menurut hokum adat (DPM.Sitompul,
1989:35)
“…bahwa menurut hukum adat di
Jawa Timur setiap sebab yang menimbulkan kerugian …. Mewajibkan orang yang
bersalah tentang timbulnya kerugian itu untuk membayar penggantian kerugian
atau untuk memperbaiki kerugian itu”
Keputusan MA
RI tanggal 22 November 1958 tersebut, hamper sama dengan teori Middendorff
tentang hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam memutuskan suatu erkara.
Middendorff memberikan teori sebagai berikut:
”… hakim harus
mempertimbangkan pertama-tama kejahatan tersebut, kedua kepribadian si pelaku,
ketiga daya guna dari pidana, dan keempat segi-segi yang menyangkut korban …”
Dengan
adanya pertimbangan dari hakim tentang segi-segi yang menyangkut masalah
korban, diharapkan ganti rugi dalam pasal 34 UU no 23 tahun 1997 daat
melindungi korban dari pengrusakan atau pencemaran lingkungan hidup.
UU no 23
tahun 1997 Paragraf 1
Ganti Rugi
Pasal 34
1) Setiap perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu.
2) Selain pembebanan untuk
melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian
tindakan tertentu tersebut
UU no 23 tahun 1997 Paragraf 1
Tanggung Jawab Mutlak
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 35
1) Penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab
secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti
rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
2) Penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan
bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu
alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau
peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di
luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak
ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
3) Dalam hal terjadi kerugian
yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Prinsip
pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung
jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari
sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini
Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan,
bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability
jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau
tidak seperti biasanya.
Pertanggung
jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban
erdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorangpun
dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan.
Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara
efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko
potensial.
Pertanggung
jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem
hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan
perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.
Beberapa
negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand.
Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggungjawab
mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh
pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti
kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup
menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Saran
Pada
dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada
didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua
benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini.
Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta adalah
masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn kehidupan
lingkungan ini tiada lain yakni manusia. Kalau lingkungan mau stabil berarti
manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik
individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya. Lingkungan dan
Kependudukan bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang.
Lingkungan
akan menjadi bumerang bila, kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Apalagi
kalau sudah terjadi bencana alam maka lingkungan akan mengancam keselamatan
kita. Melestarikan lingkungan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi
dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja,
melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula.
Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di
sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sekecil apa
pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang
layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya
pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa
harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program
pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan
Dalam
kesempatan kali ini penyusun berharap dan memberikan saran agar kita selaku makhluk yang mendiami
lingkungan harus bisa menjaga keseimbangan dan keselarasan lingkungan sendiri
tidak perlu disuruh dan diperintah. Mulailah dari sekarang, dari hal yang
terkecil, mulai dari diri kita masing-masing.
Dan
tuntutlah ilmu juga pendidikan lebih luas dan bijaksana agar tatanan kehidupan
selaras seimbang antara satu hal dengan hal lain yang ada didalamnya, dengan
begitu maka akan tercipta kehidupan yang aman, nyaman dan tentram terkendali.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
1. Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No
23 Tahun 1997.
Buku 1. Sunarso, Siswanto,
2005. Hukum Pidana lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka
Cipta. Jakarta
Website
1.http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/07/27/penegakkan-hukum-lingkungan-dan-pembangunan-berkelanjutan/
2. http://profsuhaidi.web.id/content/view/6/11/
3.
http://riana.tblog.com/archive/2009/08/
4.
http://srwahyuni.blogspot.com/2008/10/selamatkan-lingkungan.html
5.
http://www.kejaksaan.go.id/uplimg/LINGKUNGAN%20HIDUP%20V.ppt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar